Minggu, 19 April 2015

Mencari Rejeki Harian di Comberan Meski Bau Tak Dihiraukan



Pak Maskuri

Jepara  - Bagi Pak Maskuri warga desa Pecangaan Wetan Jepara comberan atau selokan merupakan tempat mencari rezeki. Dari comberan itulah dia bisa dapat uang dan menafkahi keluarganya. Meski kadang menimbulkan bau yang tidak sedap . Pekerjaan ini dijalani dengan senang hati.

“ Habis gimana lagi cacing sutra ini hidupnya di selokan atau comberan seperti ini meski harus bergelut dengan lumpur dan bau tak sedap ya jalani saja “, aku Pak Maskuri .

Dengan membawa alat serok yang terbuat dari waring dan wadah dari jrigen bekas. Pak Maskuri menyusuri selokan mulai dari desa Karang Randu sampai dengan desa Pecangaan Wetan. Dari rumahnyanya ia ngonthel sepeda berjarak 2 Km dari rumahnya.

Cacing sutra menurut Pak Maskuri di cari oleh pembibit Lele . Cacing halus berwarna merah ini bagus untuk pakan anak lele yang baru menetas.Oleh karena itu yang mencari cacing ini tidak hanya warga Jepara . Pembibit lele luar kota juga mencari cacing ini.

Kalau saya sudah punya pembeli langganan dari daerah Pati. Jika di rumah sudah ada simpanan banyak saya tinggal SMS saja. Bakul cacing sutra  itu datang ke rumah saya tinggal takar dan bayar secara kontan. Selain dia beberapa tetangganya juga mencari cacing sutra ini.

Cacing Sutera

“ Untuk hasilnya ya tidak menentu tergantung pemburuan di selokan dan comberan. Saat ini harganya satu takar gelas besar Rp 5 ribu . Satu hari kadang dapat 3 sampai 5 gelas “, kata pak Maskuri.

Selokan atau comberan di sekitar desa Pecangaan Wetan memang cocok untuk hidup cacing sutra ini. Air yang kotor dan bercampur limbah dari tahu dan tempe memang tempatnya cacing sutra hidup. Sehingga satu alur ada 3 – 4 orang yang berburu cacing sutra ini.

Berburu cacing sutra ini menurut pak Maskuri harus tahan bau . Di sepanjang alur selokan ini berbagai macam sampah ditemukan. Selain sampah dari rumah tangga juga sampah dari home industry. Namun karena sudah terbiasa meski berbau tidak sedap tidak jadi masalah.

“ Yang penting dapat cacing sutra banyak saya sudah senang itu berarti ada pemasukan uang untuk belanja keluarga sehari-hari ‘, tambahnya.

Bagi pak Maskuri  bau tak sedap comberan menjadi teman kesehariannya. Setiap hari ia jalani pekerjaan dengan senang hati . Apapun kata orang ia tak hirauakan dengan niat bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian . Dari hasil blusukan di comberan itu iapun bisa menghidupi keluarganya meski dengan hidup sederhana. (Muin)





Yuk Ikuti Pemuda Ini Ternak Lele Sangkuriang Beromzet Ratusan Juta Rupiah



Fauzan Hangriawan
TRIBUNNEWS.COM - Berani mencoba alias tidak takut gagal adalah prinsip yang mengantarkan Fauzan Hangriawan sukses menjadi pengusaha lele sangkuriang di Jakarta.
Dengan modal terbilang mini, pemilik Sylva Farm Bangun Bangsa ini berhasil mengembangkan bisnis lele hingga meraup omzet ratusan juta sebulan..
Pria kelahiran Pontianak 26 tahun silam ini memang doyan berbisnis sejak masih remaja. Ketika duduk di bangku SMP di Lampung, Fauzan kerap membantu orang tuanya berjualan kelapa dan beras. Lalu, sejak SMA, dia memberanikan diri membuka bisnis sendiri. Mulai dari berjualan sepatu, kuliner, hingga usaha percetakan, dilakoninya.
Meski bisnis itu tidak pernah bertahan lama, Fauzan tidak kapok mencoba. Pada 2009, pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Jakarta, ini kembali mencoba bisnis baru yang belum pernah digeluti sebelumnya, yakni membudidayakan lele.
"Pengetahuannya saya tentang budidaya lele sangat terbatas waktu itu. Tapi, saya bertekad mencobanya," ceritanya.
Bermodal Rp 1,5 juta dari kocek sendiri, dia membelanjakan 1.000 bibit lele dumbo, pakan lele, dan terpal untuk pembuatan kolam di belakang rumah.
Lantaran, belum tahu banyak soal budidaya lele, tingkat kematian lele sangat besar. Ketika itu, hanya 40% bibit lele yang mampu bertahan.
Meski begitu, selang tiga bulan, Fauzan berhasil menikmati hasil panen pertamanya sebanyak 40 kg lele. Melihat hasil yang cukup menggiurkan, Fauzan memutuskan untuk serius menggeluti budidaya lele sangkuriang. Tak heran, dia belajar lebih mendalam soal budidaya lele.
Apalagi, kata Fauzan, kala itu, lele sangkuriang merupakan varietas yang unggul. Bahkan, hasil riset pemerintah yang ia baca menyebutkan, masa panen jenis lele ini lebih cepat, yakni hanya dua bulan.
Daya tahan terhadap penyakit dan perubahan suhu pun lebih baik dibandingkan jenis lain, seperti lele dumbo.
Fauzan tidak sendiri mengembangkan bisnis lele sangkuriang. Selain mempekerjakan delapan karyawan, dia juga bermitra dengan 30 petani binaan di Jakarta dan Bogor melalui sistem kolam plasma. "Saya mendampingi mereka, sehingga hasil panen bisa maksimal,รข€ ujarnya.
Kini, dalam sebulan, Sylva Farm bisa memproduksi 600.000 ekor bibit lele. Harga bibit ditentukan berdasar ukuran. Misal, bibit berukuran 5-6 centimeter (cm) dibanderol Rp 160 per bibit. Sementara, bibit ukuran 7-8 cm dijual Rp 200 per bibit.
Tak hanya itu, saban hari, Fauzan juga memproduksi 3- 4 kuintal lele berukuran siap konsumsi seharga Rp 17.000 per kilogram.
Jadi, saban bulan, dia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 200 juta. Pelanggannya tak hanya tersebar di wilayah Indonesia, tapi juga dari Bangladesh dan Malaysia.  (Marantina)
Sumber : TRIBUN



Kamis, 09 April 2015

Bertahan Hidup Dengan Jualan di Emperan Sekolah


Demak – Bagi mbah Tianah (65)  warga desa Kedungmutih RT 12 RW 1 desa Kedungmutih kecamatan Wedung  hidup itu harus dijalani dengan senang hati. Meskipun setiap hari harus kepanasan dan kehujanan namun hal itu tidak dihirauakan asalkan setiap hari bisa mendapatkan uang untuk belanja sehari-hari. Jika tidak keluar rumah berjualan bisa-bisa ia kelaparan karena tak ada beras yang di masak.

“ Saya jualan kayak begini sudah lebih 25  tahun , semenjak saya ditinggalkan suami sayapun kerja jualan makanan seperti ini . Pada waktu itu anak-anak saya masih kecil sekarang sudah berumah tangga semua “, ujar Mbah Tianah pada kabarseputarmuria.com

Dengan berbekal meja bambu sederhana ia membuka lapaknya di emperan MI ( Madrasah Ibtidaiyah ) Ribhul Ulum Kedungmutih. Dagangannya berupa makanan kecil berbagai macam . Seperti roti , manisan , minuman sachet dan juga sosis. Dagangan ia  beli dari pasar desa tidak jauh dari rumahnya.

Peralatan jualan juga ia siapkan setiap hari dengan kereta dorong kecil ia membawa kompor dan tabung gas. Termos air dan beberapa ember plastic untuk meramu makanan kecil untuk anak-anak sekolah. Meskipun jualan di emperan ia memperhatikan kebersihan dan kesehatan.  Untuk air minum ia gunakan air matang , begitu juga minyak untuk menggoreng sosis juga selalu diganti.

Mbah Tianah melayani anak-anak

“ Untung dikit tidak mengapa yang penting makanan yang saya jual sehat. Sehingga saya kalau kulakan selalu berhati-hati memilih makanan yang saya jual. Alhamdulillah selama puluhan tahun lancar-lancar saja “, aku Mbah Tianah dengan jujur.

Dari jualan makanan kecil ini mbah Tianah mengaku bersyukur, meski tidak berlebihan hasilnya. Namun setiap hari bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari. Selain itu juga bisa memberi jajan cucunya yang sudah mencapai puluhan. Oleh karena itu jika tubuhnya sehat setiap hari ia keluar rumah mencari nafkah.

“ Jam 12 an nanti saya pulang untuk makan dan istrirahat , sekitar jam 2 siang nanti keluar lagi dan mangkal dekat kolam desa sana . Pulang ke  rumah lagi nanti menjelang maghrib “, kata Mbah Tianah lagi.

Saat ini mbah Tianah tinggal sendiri di rumahnya yang sederhana. Penghasilannya sehari-hari hanya cukup  untuk makan saja. Oleh karena itu kondisi rumahnya cukup memprihatinkan . Selain berdinding bamboo lantainya juga masih berupa tanah liat. Jika musim hujan tiba lantainya licin karena air hujan yang masuk.

Ia berharap ada program bantuan bedah rumah dari pemerintah. Beberapa tetangganya ada yang sudah mendapatkan bantuan bedah rumah. Padahal kondisi rumahnya cukup memprihatinkan . Namun oleh aparat pemerintahan desanya tidak ada perhatian sehingga iapun terlewatkan oleh program bedah rumah. (Muin)